Sabtu, 29 November 2014

Yang tertinggal di Groningen...

Teman-teman, mungkin ini adalah posting terakhirku tentang perjalanan kursus singkat ke Groningen.  Postingan selanjutnya akan bertema gado-gado.  Baiklah, hari ini aku cuma mau menambahkan foto-foto selama di sana agar tak terlupakan oleh waktu.





Gambar tersebut adalah suasana saat penerimaan sertifikat short course sebagai tanda telah berakhirnya kegiatan short course tahun tersebut.  Dari kanan ke kiri : Amanda, Fanny, Katty, Me, Yaya, Damodar, and Stiny.. 

Sebenarnya pesertanya ada 5 yakni Aku, Katty, Yaya, Damodar dan Tashee.  Sayang sekali, Tashee harus pulang terlebih dahulu ke Bhutan karena thesis masternya mau dibeli oleh penerbit buku terkenal.  Selama prosesi, kita dipanggil maju satu per satu dan diberi tahu tentang kelebihan kita dan kesediaan ruang improvement (bahasa kasarnya sih kekurangan kita hehe...).  Karena lulusan statistik, kelebihanku memang di computing, kalau penulisan paper suka amburadul bahasanya hehe...

Karena ini cuma lulusan short course, maka prosesi tidak dilaksanakan di academic building yang kesohor itu.  


Pertama kali melihat academic building untuk menerima uang beasiswa, gedung ini terlihat dan terasa sangat megah dan anggun.  Ada tangga berkarpet merah tempat para lulusan master atau doktor biasa berfoto dengan berlatar belakang kaca mozaik atau foto para ilmuwan yang dihasilkan universitas ini.  Pokoknya merinding...



Foto di atas merupakan pemandangan jendela kamarku yang sebenarnya menghadap belakang gedung.  Tapi view depan dan belakang gedung tidaklah berbeda, ya seperti itulah suasana Belanda.  Kalau di Indonesia, kaca depan menghadap jalan, kaca belakang menghadap kebun.  Tapi di Belanda, menghadap depan atau belakang sama saja, tetap menghadap jalan.

Gedung depan sebelah kiri dihuni oleh para penyandang disabilitas.  Ini yang membuatku takjub di Belanda.  Jadi penyandang disabilitas dikumpulkan di salah satu gedung tersendiri (mungkin biar mereka tidak minder kali ya) dan mereka harus bisa mengurus keperluannya sendiri sebagaimana teman-teman sebayanya yang normal.  Memang terasa aneh bagi anak muda di Belanda untuk tinggal bersama orang tuanya, khususnya saat usia kuliah.

"Bagaimana kalau orang tuamu sudah sangat renta?" tanyaku suatu hari pada Fionne, gadis Belanda teman kuliah.  
"Oh, we simply sent them to nursing home" 

Well, aku jadi ingat pepatah, rantai akan mengikat kuat dengan rantai yang besarnya sama.  Yang disabilitas dikumpulkan dengan yang disabilitas, yang jompo dikumpulkan dengan yang jompo.  Ini untuk mendekatkan dan meningkatkan mutu pelayanan sosial yang diorganisir oleh negara kepada yang berhak.  Sound so good? Entahlah, aku rasa hal seperti ini tidak (atau belum??) sesuai dengan budaya Indonesia hehe...

Balik lagi ke pemandangan depan jendela kamarku, terlihat perubahan suasana saat pergantian musim gugur ke musim dingin.  Karena dari negara tropis, aku suka kedua musim tersebut.  Musim gugur dengan daun-daun kering kuning bertebaran di jalan-jalan kota akibat ditiup angin.  Aku membaui tanah, daun, angin,.. Aku sering duduk sendiri di bawah pohon sambil menanti daun-daun berguguran.  Ternyata untuk bahagia, tidak harus uang yang turun dari langit.  Dedaunan yang jatuh pun bisa membuatku sangat bahagia kala itu... Terima kasih Tuhan.

Bagai kanak-kanak, pertama kali melihat salju turun juga merupakan kegembiraan luar biasa.  Inilah dia salju yang biasa aku lihat di TV-TV dengan suhu minusnya yang luar biasa, umumnya malah sebelum turun salju.  Jadi, sebelum salju turun, biasanya suhu drop dulu sampai minus dan menjadi sangat dingin untuk ukuran orang Indonesia, baru ketika salju turun, suhu menjadi lebih stabil dingin hehe...






Ceritanya, sesampai di Belanda, aku mengalami gegar budaya alias tidak mau makan nasi selama hampir satu bulan (aneh ya...).  Temenku yang dari Australia sampai tertawa ketika aku menceritakan hal ini dan meminta saran tentang macam cara memasak kentang.  Akhirnya, aku mencoba cara pengolahan kentang sebagaimana yang diberitahukannya.

Tapi yang paling enak ternyata yang gambar bawah.  Kentang di oven setelah sebelumnya ditusuk-tusuk dengan garpu, dilumuri minyak zaitun dan sedikit garam.  Setelah kulit kentang terasa kering, baru dikeluarkan dari oven dan dibelah, diolesi mayonaise, abon dan saus sambal. Betulan, ini yang paling enak, aku bisa menghabiskan kentang 2 kg setiap bulan hanya untuk buat sarapan ini.

Oke, terima kasih semua... Posting selanjutnya tentang hal yang lain ya..


Minggu, 28 September 2014

Pergi ke Amsterdam kali kedua

Mohon maaf buat pembaca blogku yang sederhana..

Aku memutuskan untuk melanjutkan cerita tentang kepergianku ke Amsterdam untuk kali kedua, walau kejadian itu sudah berlangsung 2 tahun yang lalu.  Ya, istilahnya retrospective lah.  Meski ceritanya terasa basi dan hambar, tapi aku ingin membayangkannya lagi. So please, jangan protes..!

Perjalanan ke amsterdam saat itu, penuh perasaan yang mengaduk-aduk emosi.  Sebentar lagi aku akan pulang, betapa amazingnya Tuhan, how cute this country is, dan aku ingin menikmati detik-detik terakhir di Belanda ini dengan menghirup udara segar dalam-dalam.  Seperti biasa kereta api pertama dari Groningen ke Amsterdam berangkat pagi buta berwarna gelap.  Misiku kala itu jelas, beli souvenir lebih banyak!

Sepanjang perjalanan aku hanya melamun, menatap salju putih yang menutupi sebagian bumi, diselingi makan pagi roti tawar dilapisi coklat putih dan sebotol jahe susu hangat.  Penumpang saat itu tidak terlalu banyak, dan masing-masing dari mereka juga sedang makan sandwich.  Aih aih, tidak disangka aku sudah punya habit yang sama dengan bule-bule itu.  Di tengah perjalanan, kondektur kereta mengecek karcis sambil menyapa tersenyum “Guten Morgen”..  Waduh, tiba-tiba saja aku merasa seperti pelarian yang mencari suaka di Belanda :D).  Aku hanya menyahut berwibawa “morgen..” sambil tersenyum.  Bener-bener lagak meneer betulan..

Tiket Dagkaart yang aku pakai saat itu

Sampai di Amsterdam, tentu saja masih pagi namun sudah terang dan tetap dingin seperti biasa.  Aku tidak sedang terburu-buru, aku sedang menikmati kesendirianku melancong di negeri asing, dan aku ingin menikmati setiap detiknya.  Langkah pertama adalah mengambil uang di GWK Travelex sebesar 300 euro, cukuplah untuk beli oleh-oleh.  Untuk tidak mengulangi pengalaman pertama kali mengunjungi Amsterdam, aku mengambil jalan lain.

Cash passport yang hanya bisa dicairkan di GWK Travelex

Nieuwendijk.... Ya, aku lewat jalan itu.  Ternyata di jalan inilah surga belanja tersebut berada, mulai dari jajaran toko-toko branded, kumpulan toko souvenir hingga penginapan murah seperti flying pig, dll.  Udara bertambah dingin, aku berjalan dekat pintu toko-toko agar terkena panas sesaat.  Dan di jalan Nieuwendijk ini ternyata ada Blokker.  Iseng aku mencari coklat di toko ini sambil menghangatkan badan.  Saat itu, belum banyak yang berbelanja di dalam, maklum masih pagi.  Dan ternyata.... berbungkus-bungkus coklat masih ada disana.  Bungkusan coklat yang sudah ludes di toko-toko di Groningen.  Wuahh.. menjadi gelap mata.  Pingin memborong semua, tapi teringat bagaimana cara membawanya pulang.  Akhirnya hanya beli seperlunya.

Berlanjut ke toko souvenir.  Ada teman yang minta kaos Ajax original dan ketika aku lihat harganya, busyeett...mahal bo!!.  Tidak jadi beli.  Ke toko souvenir, masih mengaduk-aduk yang khas dan beda, tiba-tiba prangg... souvenir kincir angin meluncur jatuh dari tanganku.  Aduuhh..pecah berarti membeli ga ya? Si pemilik toko memandangiku, aku memasang tampang melas sambil berkata “I am sorry”.  Ya Allah, tolong aku, doaku.  Secepat kilat, bule penjaga toko berkata “Never mind, just take another one”.  Really? Tegasku.  Tiba-tiba sifat asliku yang penuh senyum kembali.  Terima kasih mas bule..

Perjalanan berlanjut ke Magna Plaza.  Aku rasa bangunan ini seperti mall di Surabaya, tapi menurutku lebih menarik mall di Surabaya.  Banyak makanan, toko-toko, anak-anak berlarian, dan tentu saja diskon.  Saat itu keadaan bangunan magna plaza masih sepi pengunjung yang membuatku tidak pede kalau hanya window shopping.  Cepet-cepet pergi deh.

Magna Plaza (bukan hasil jepretanku, HD eksternal sudah rusak)
Destinasi selanjutnya adalah Anne Frank House di jalan Prinnsengracht.  Susah payah aku berjalan sepanjang trotoar bersalju nan licin jalan Raadhuisstraat dan Westermarkt hanya untuk sampai ke tempat ini.  Sampai ke tempat tersebut, antriii makkk... Akhirnya tidak jadi mampir.  Jalan kaki lagi berlanjut menuju organic farmers' market di jalan Noodermarkt.  Sampai di tempat ini, kembali aku disappointed.  Ternyata pasar unik vegetarian yang dimaksud oleh mahasiswa PPI Amsterdam adalah pasar kaki lima yang lebih banyak menjual apparels daripada produk vegetarian.  Baju-baju bekas, sayur buah yang bisa ditemui dimana-mana, pernak-pernik perhiasan imitasi, daging, keju, dan of course lumpia.  Aku berkeliling sampai tiga kali untuk memastikan bahwa tidak ada barang menarik yang aku lewatkan.   Dan ternyata memang tidak ada yang benar-benar menarik.  Masih lebih menarik Grote markt Groningen..

Noodermarkt
Anne Frank House

Sudah jam 1 siang lewat.  Perutku keroncongan minta diisi.  Dengan bergegas aku menuju restoran Indonesia (lupa namanya) yang sudah aku cari lewat google map beberapa hari sebelumnya.  .... Apakah aku ingin makan makanan Indonesia? Kan sebentar lagi aku pulang dan bisa memuaskan lidahku, pikirku.  Tapi di restoran itu biasa tempat berkumpul orang-orang Indonesia, mungkin enak kali ya ngumpul-ngumpul sama orang Indonesia, rayu pikiranku.  Sepanjang perjalanan mencari restoran itu, aku berhenti berkali-kali.

Berhenti pertama, melihat kanal-kanal di Amsterdam yang sedang membeku dan diratakan secara manual agar bisa dilalui sepatu ski.  Ternyata banyak juga yang “ndeso” dan melihat bagaimana kanal tersebut diratakan selain aku.  Banyak juga lho yang berkulit putih berambut pirang.  Dari mana ya mereka itu, kok bisa se-ndeso aku?  :D) Melewati toko-toko, aku melihat toko keju unik yang membungkus keju dengan kemasan yang sangat-sangat menarik.  Lucu-lucu, pokoknya.  Inilah tempat berhentiku kedua.  Aku sebenarnya ingin membawa satu untuk oleh-oleh istri, tapi kebingungan cara membawanya pulang ke Indonesia.

Kanal-kanal di Amsterdam yang membeku

Aha!! Ternyata ketemu juga restoran Indonesia itu.  Tapi pikiran manusia bisa berubah secepat kilat, dan termasuk aku saat itu, tanpa tahu alasannya apa.  Tiba-tiba saja aku tidak ingin masuk, tiba-tiba aku tidak ingin makan masakan Indonesia, tiba-tiba aku ingin pergi berlalu begitu saja.  Tapi perutku semakin meronta didera dinginnya udara.  Aku menyesal kenapa tidak membeli kebab murah yang kutemui di pinggir jalan tadi.  Lebih baik aku pulang dan beli patat di stasiun..

Dalam perjalanan ke stasiun, aku masih mampir ke supermarket (lupa lagi namanya) membeli jaket berwarna biru laut yang bagus dan murah menurutku.  Aku ingin membeli baju juga untuk istri, tapi belahan dada baju-baju tersebut rendah semua.  Uhuy, bisa sexy neh istriku.  Aku jadi teringat teman-teman short course dari Australia yang sering menggunakan baju model begitu.  Meski risih dipandangi banyak orang, toh mereka tetap pakai baju model gitu, sambil tangannya sesekali merapikan baju bagian belahan dada. 

Entah jam berapa aku balik lagi ke stasiun.  Aku tidak menyangka ada jadwal kereta langsung ke Groningen saat itu.  Tidak tercantum di internet, menurutku.  Suatu kebetulan yang menguntungkan!  Tanpa basa-basi, aku naik kereta itu sebelum salju turun lebih lebat.  Selalu turun salju dalam dua kali kunjungan ke Amsterdam.
 

Amsterdam, hmm.. Cerita menarik untuk anak cucuku kelak.