Mohon maaf buat pembaca blogku yang sederhana..
Aku memutuskan untuk melanjutkan cerita tentang kepergianku
ke Amsterdam untuk kali kedua, walau kejadian itu sudah berlangsung 2 tahun
yang lalu. Ya, istilahnya retrospective
lah. Meski ceritanya terasa basi dan
hambar, tapi aku ingin membayangkannya lagi. So please, jangan protes..!
Perjalanan ke amsterdam saat itu, penuh perasaan yang
mengaduk-aduk emosi. Sebentar lagi aku
akan pulang, betapa amazingnya Tuhan, how cute this country is, dan aku ingin
menikmati detik-detik terakhir di Belanda ini dengan menghirup udara segar
dalam-dalam. Seperti biasa kereta api
pertama dari Groningen ke Amsterdam berangkat pagi buta berwarna gelap. Misiku kala itu jelas, beli souvenir lebih
banyak!
Sepanjang perjalanan aku hanya melamun, menatap salju putih
yang menutupi sebagian bumi, diselingi makan pagi roti tawar dilapisi coklat
putih dan sebotol jahe susu hangat.
Penumpang saat itu tidak terlalu banyak, dan masing-masing dari mereka
juga sedang makan sandwich. Aih aih,
tidak disangka aku sudah punya habit yang sama dengan bule-bule itu. Di tengah perjalanan, kondektur kereta
mengecek karcis sambil menyapa tersenyum “Guten Morgen”.. Waduh, tiba-tiba saja aku merasa seperti
pelarian yang mencari suaka di Belanda :D).
Aku hanya menyahut berwibawa “morgen..” sambil tersenyum. Bener-bener lagak meneer betulan..
![]() |
Tiket Dagkaart yang aku pakai saat itu |
Sampai di Amsterdam, tentu saja masih pagi namun sudah
terang dan tetap dingin seperti biasa.
Aku tidak sedang terburu-buru, aku sedang menikmati kesendirianku
melancong di negeri asing, dan aku ingin menikmati setiap detiknya. Langkah pertama adalah mengambil uang di GWK
Travelex sebesar 300 euro, cukuplah untuk beli oleh-oleh. Untuk tidak mengulangi pengalaman pertama
kali mengunjungi Amsterdam, aku mengambil jalan lain.
![]() |
Cash passport yang hanya bisa dicairkan di GWK Travelex |
Nieuwendijk.... Ya, aku lewat jalan itu. Ternyata di jalan inilah surga belanja
tersebut berada, mulai dari jajaran toko-toko branded, kumpulan toko souvenir
hingga penginapan murah seperti flying pig, dll. Udara bertambah dingin, aku berjalan dekat
pintu toko-toko agar terkena panas sesaat.
Dan di jalan Nieuwendijk ini ternyata ada Blokker. Iseng aku mencari coklat di toko ini sambil
menghangatkan badan. Saat itu, belum
banyak yang berbelanja di dalam, maklum masih pagi. Dan ternyata.... berbungkus-bungkus coklat
masih ada disana. Bungkusan coklat yang
sudah ludes di toko-toko di Groningen. Wuahh..
menjadi gelap mata. Pingin memborong
semua, tapi teringat bagaimana cara membawanya pulang. Akhirnya hanya beli seperlunya.
Berlanjut ke toko souvenir.
Ada teman yang minta kaos Ajax original dan ketika aku lihat harganya,
busyeett...mahal bo!!. Tidak jadi
beli. Ke toko souvenir, masih
mengaduk-aduk yang khas dan beda, tiba-tiba prangg... souvenir kincir angin meluncur
jatuh dari tanganku. Aduuhh..pecah
berarti membeli ga ya? Si pemilik toko memandangiku, aku memasang tampang melas
sambil berkata “I am sorry”. Ya Allah,
tolong aku, doaku. Secepat kilat, bule
penjaga toko berkata “Never mind, just take another one”. Really? Tegasku. Tiba-tiba sifat asliku yang penuh senyum
kembali. Terima kasih mas bule..
Perjalanan berlanjut ke Magna Plaza. Aku rasa bangunan ini seperti mall di
Surabaya, tapi menurutku lebih menarik mall di Surabaya. Banyak makanan, toko-toko, anak-anak
berlarian, dan tentu saja diskon. Saat
itu keadaan bangunan magna plaza masih sepi pengunjung yang membuatku tidak
pede kalau hanya window shopping.
Cepet-cepet pergi deh.
![]() |
Magna Plaza (bukan hasil jepretanku, HD eksternal sudah rusak) |
Destinasi selanjutnya adalah Anne Frank House di jalan Prinnsengracht.
Susah payah aku berjalan sepanjang
trotoar bersalju nan licin jalan Raadhuisstraat dan Westermarkt hanya untuk
sampai ke tempat ini. Sampai ke tempat
tersebut, antriii makkk... Akhirnya tidak jadi mampir. Jalan kaki lagi berlanjut menuju organic
farmers' market di jalan Noodermarkt.
Sampai di tempat ini, kembali aku disappointed. Ternyata pasar unik vegetarian yang dimaksud
oleh mahasiswa PPI Amsterdam adalah pasar kaki lima yang lebih banyak menjual
apparels daripada produk vegetarian.
Baju-baju bekas, sayur buah yang bisa ditemui dimana-mana, pernak-pernik
perhiasan imitasi, daging, keju, dan of course lumpia. Aku berkeliling sampai tiga kali untuk
memastikan bahwa tidak ada barang menarik yang aku lewatkan. Dan ternyata memang tidak ada yang benar-benar
menarik. Masih lebih menarik Grote markt
Groningen..
![]() |
Noodermarkt |
Anne Frank House |
Sudah jam 1 siang lewat.
Perutku keroncongan minta diisi.
Dengan bergegas aku menuju restoran Indonesia (lupa namanya) yang sudah
aku cari lewat google map beberapa hari sebelumnya. .... Apakah aku ingin makan makanan
Indonesia? Kan sebentar lagi aku pulang dan bisa memuaskan lidahku, pikirku. Tapi di restoran itu biasa tempat berkumpul
orang-orang Indonesia, mungkin enak kali ya ngumpul-ngumpul sama orang
Indonesia, rayu pikiranku. Sepanjang
perjalanan mencari restoran itu, aku berhenti berkali-kali.
Berhenti pertama, melihat kanal-kanal di Amsterdam yang
sedang membeku dan diratakan secara manual agar bisa dilalui sepatu ski. Ternyata banyak juga yang “ndeso” dan melihat
bagaimana kanal tersebut diratakan selain aku.
Banyak juga lho yang berkulit putih berambut pirang. Dari mana ya mereka itu, kok bisa se-ndeso
aku? :D) Melewati toko-toko, aku melihat
toko keju unik yang membungkus keju dengan kemasan yang sangat-sangat
menarik. Lucu-lucu, pokoknya. Inilah tempat berhentiku kedua. Aku sebenarnya ingin membawa satu untuk
oleh-oleh istri, tapi kebingungan cara membawanya pulang ke Indonesia.
![]() |
Kanal-kanal di Amsterdam yang membeku |
Aha!! Ternyata ketemu juga restoran Indonesia itu. Tapi pikiran manusia bisa berubah secepat
kilat, dan termasuk aku saat itu, tanpa tahu alasannya apa. Tiba-tiba saja aku tidak ingin masuk,
tiba-tiba aku tidak ingin makan masakan Indonesia, tiba-tiba aku ingin pergi berlalu
begitu saja. Tapi perutku semakin
meronta didera dinginnya udara. Aku
menyesal kenapa tidak membeli kebab murah yang kutemui di pinggir jalan
tadi. Lebih baik aku pulang dan beli
patat di stasiun..
Dalam perjalanan ke stasiun, aku masih mampir ke supermarket
(lupa lagi namanya) membeli jaket berwarna biru laut yang bagus dan murah
menurutku. Aku ingin membeli baju juga
untuk istri, tapi belahan dada baju-baju tersebut rendah semua. Uhuy, bisa sexy neh istriku. Aku jadi teringat teman-teman short course
dari Australia yang sering menggunakan baju model begitu. Meski risih dipandangi banyak orang, toh
mereka tetap pakai baju model gitu, sambil tangannya sesekali merapikan baju
bagian belahan dada.
Entah jam berapa aku balik lagi ke stasiun. Aku tidak menyangka ada jadwal kereta
langsung ke Groningen saat itu. Tidak
tercantum di internet, menurutku. Suatu
kebetulan yang menguntungkan! Tanpa
basa-basi, aku naik kereta itu sebelum salju turun lebih lebat. Selalu turun salju dalam dua kali kunjungan
ke Amsterdam.
Amsterdam, hmm.. Cerita menarik untuk anak cucuku kelak.