Minggu, 28 September 2014

Pergi ke Amsterdam kali kedua

Mohon maaf buat pembaca blogku yang sederhana..

Aku memutuskan untuk melanjutkan cerita tentang kepergianku ke Amsterdam untuk kali kedua, walau kejadian itu sudah berlangsung 2 tahun yang lalu.  Ya, istilahnya retrospective lah.  Meski ceritanya terasa basi dan hambar, tapi aku ingin membayangkannya lagi. So please, jangan protes..!

Perjalanan ke amsterdam saat itu, penuh perasaan yang mengaduk-aduk emosi.  Sebentar lagi aku akan pulang, betapa amazingnya Tuhan, how cute this country is, dan aku ingin menikmati detik-detik terakhir di Belanda ini dengan menghirup udara segar dalam-dalam.  Seperti biasa kereta api pertama dari Groningen ke Amsterdam berangkat pagi buta berwarna gelap.  Misiku kala itu jelas, beli souvenir lebih banyak!

Sepanjang perjalanan aku hanya melamun, menatap salju putih yang menutupi sebagian bumi, diselingi makan pagi roti tawar dilapisi coklat putih dan sebotol jahe susu hangat.  Penumpang saat itu tidak terlalu banyak, dan masing-masing dari mereka juga sedang makan sandwich.  Aih aih, tidak disangka aku sudah punya habit yang sama dengan bule-bule itu.  Di tengah perjalanan, kondektur kereta mengecek karcis sambil menyapa tersenyum “Guten Morgen”..  Waduh, tiba-tiba saja aku merasa seperti pelarian yang mencari suaka di Belanda :D).  Aku hanya menyahut berwibawa “morgen..” sambil tersenyum.  Bener-bener lagak meneer betulan..

Tiket Dagkaart yang aku pakai saat itu

Sampai di Amsterdam, tentu saja masih pagi namun sudah terang dan tetap dingin seperti biasa.  Aku tidak sedang terburu-buru, aku sedang menikmati kesendirianku melancong di negeri asing, dan aku ingin menikmati setiap detiknya.  Langkah pertama adalah mengambil uang di GWK Travelex sebesar 300 euro, cukuplah untuk beli oleh-oleh.  Untuk tidak mengulangi pengalaman pertama kali mengunjungi Amsterdam, aku mengambil jalan lain.

Cash passport yang hanya bisa dicairkan di GWK Travelex

Nieuwendijk.... Ya, aku lewat jalan itu.  Ternyata di jalan inilah surga belanja tersebut berada, mulai dari jajaran toko-toko branded, kumpulan toko souvenir hingga penginapan murah seperti flying pig, dll.  Udara bertambah dingin, aku berjalan dekat pintu toko-toko agar terkena panas sesaat.  Dan di jalan Nieuwendijk ini ternyata ada Blokker.  Iseng aku mencari coklat di toko ini sambil menghangatkan badan.  Saat itu, belum banyak yang berbelanja di dalam, maklum masih pagi.  Dan ternyata.... berbungkus-bungkus coklat masih ada disana.  Bungkusan coklat yang sudah ludes di toko-toko di Groningen.  Wuahh.. menjadi gelap mata.  Pingin memborong semua, tapi teringat bagaimana cara membawanya pulang.  Akhirnya hanya beli seperlunya.

Berlanjut ke toko souvenir.  Ada teman yang minta kaos Ajax original dan ketika aku lihat harganya, busyeett...mahal bo!!.  Tidak jadi beli.  Ke toko souvenir, masih mengaduk-aduk yang khas dan beda, tiba-tiba prangg... souvenir kincir angin meluncur jatuh dari tanganku.  Aduuhh..pecah berarti membeli ga ya? Si pemilik toko memandangiku, aku memasang tampang melas sambil berkata “I am sorry”.  Ya Allah, tolong aku, doaku.  Secepat kilat, bule penjaga toko berkata “Never mind, just take another one”.  Really? Tegasku.  Tiba-tiba sifat asliku yang penuh senyum kembali.  Terima kasih mas bule..

Perjalanan berlanjut ke Magna Plaza.  Aku rasa bangunan ini seperti mall di Surabaya, tapi menurutku lebih menarik mall di Surabaya.  Banyak makanan, toko-toko, anak-anak berlarian, dan tentu saja diskon.  Saat itu keadaan bangunan magna plaza masih sepi pengunjung yang membuatku tidak pede kalau hanya window shopping.  Cepet-cepet pergi deh.

Magna Plaza (bukan hasil jepretanku, HD eksternal sudah rusak)
Destinasi selanjutnya adalah Anne Frank House di jalan Prinnsengracht.  Susah payah aku berjalan sepanjang trotoar bersalju nan licin jalan Raadhuisstraat dan Westermarkt hanya untuk sampai ke tempat ini.  Sampai ke tempat tersebut, antriii makkk... Akhirnya tidak jadi mampir.  Jalan kaki lagi berlanjut menuju organic farmers' market di jalan Noodermarkt.  Sampai di tempat ini, kembali aku disappointed.  Ternyata pasar unik vegetarian yang dimaksud oleh mahasiswa PPI Amsterdam adalah pasar kaki lima yang lebih banyak menjual apparels daripada produk vegetarian.  Baju-baju bekas, sayur buah yang bisa ditemui dimana-mana, pernak-pernik perhiasan imitasi, daging, keju, dan of course lumpia.  Aku berkeliling sampai tiga kali untuk memastikan bahwa tidak ada barang menarik yang aku lewatkan.   Dan ternyata memang tidak ada yang benar-benar menarik.  Masih lebih menarik Grote markt Groningen..

Noodermarkt
Anne Frank House

Sudah jam 1 siang lewat.  Perutku keroncongan minta diisi.  Dengan bergegas aku menuju restoran Indonesia (lupa namanya) yang sudah aku cari lewat google map beberapa hari sebelumnya.  .... Apakah aku ingin makan makanan Indonesia? Kan sebentar lagi aku pulang dan bisa memuaskan lidahku, pikirku.  Tapi di restoran itu biasa tempat berkumpul orang-orang Indonesia, mungkin enak kali ya ngumpul-ngumpul sama orang Indonesia, rayu pikiranku.  Sepanjang perjalanan mencari restoran itu, aku berhenti berkali-kali.

Berhenti pertama, melihat kanal-kanal di Amsterdam yang sedang membeku dan diratakan secara manual agar bisa dilalui sepatu ski.  Ternyata banyak juga yang “ndeso” dan melihat bagaimana kanal tersebut diratakan selain aku.  Banyak juga lho yang berkulit putih berambut pirang.  Dari mana ya mereka itu, kok bisa se-ndeso aku?  :D) Melewati toko-toko, aku melihat toko keju unik yang membungkus keju dengan kemasan yang sangat-sangat menarik.  Lucu-lucu, pokoknya.  Inilah tempat berhentiku kedua.  Aku sebenarnya ingin membawa satu untuk oleh-oleh istri, tapi kebingungan cara membawanya pulang ke Indonesia.

Kanal-kanal di Amsterdam yang membeku

Aha!! Ternyata ketemu juga restoran Indonesia itu.  Tapi pikiran manusia bisa berubah secepat kilat, dan termasuk aku saat itu, tanpa tahu alasannya apa.  Tiba-tiba saja aku tidak ingin masuk, tiba-tiba aku tidak ingin makan masakan Indonesia, tiba-tiba aku ingin pergi berlalu begitu saja.  Tapi perutku semakin meronta didera dinginnya udara.  Aku menyesal kenapa tidak membeli kebab murah yang kutemui di pinggir jalan tadi.  Lebih baik aku pulang dan beli patat di stasiun..

Dalam perjalanan ke stasiun, aku masih mampir ke supermarket (lupa lagi namanya) membeli jaket berwarna biru laut yang bagus dan murah menurutku.  Aku ingin membeli baju juga untuk istri, tapi belahan dada baju-baju tersebut rendah semua.  Uhuy, bisa sexy neh istriku.  Aku jadi teringat teman-teman short course dari Australia yang sering menggunakan baju model begitu.  Meski risih dipandangi banyak orang, toh mereka tetap pakai baju model gitu, sambil tangannya sesekali merapikan baju bagian belahan dada. 

Entah jam berapa aku balik lagi ke stasiun.  Aku tidak menyangka ada jadwal kereta langsung ke Groningen saat itu.  Tidak tercantum di internet, menurutku.  Suatu kebetulan yang menguntungkan!  Tanpa basa-basi, aku naik kereta itu sebelum salju turun lebih lebat.  Selalu turun salju dalam dua kali kunjungan ke Amsterdam.
 

Amsterdam, hmm.. Cerita menarik untuk anak cucuku kelak.